BUKU KIRI DAN PENGHILANGAN JEJAK KAKI

(Sumber gambar : duniamu.id)

(Sumber gambar : duniamu.id)

Eh, elu tahu ga komunis itu apa ?”

“Itu kan, yang pelaku G30SPKI ?”

“Iya, tapi tahu ga komunis itu artinya apa ?”

“Engga tahu,”

“Gua dong tahu,”

“Emang apaan ?”

“Komunis itu sama artinya kaya  orang-orang yang ga beragama, ga percaya Tuhan,”

————————————————————————————————————

Percaya atau tidak, percakapan di atas pernah terjadi pada penulis sekitar lima belas tahun yang lalu kala duduk di bangku kelas 3 SD. Percakapan di atas terjadi antara saya dengan seorang teman di sebuah angkutan umum. Bahasan itu terjadi karena sehari sebelumnya ada pembahasan soal G30S dan Supersemar di pelajaran sejarah. Kemudian saya yang tidak tahu komunis itu apa, bertanya pada ayah saya. Sudah dapat ditebak jawabannya apa kan ? Karena ayah saya lama hidup di jaman Orba, tentu jawabannya sangat klasik, yaitu ‘Orang yang tidak percaya Tuhan’ dan jawaban itu pula yang saya bawa kemana-mana, hingga percakapan di sebuah kendaraan umum. Waktu itu saya dengan bangganya menjawab pertanyaan teman saya dengan demikian karena di pikiran saya, wawasan saya lebih maju satu langkah dibanding teman saya itu. Namun setelah saya menginjak bangku SMA dan mulai menelusuri apa itu komunisme sebenarnya, rasanya SAYA MALU dengan jawaban yang saya katakan dengan bangga kala duduk di bangku kelas 3 SD silam. Bayangkan saja selama hampir SEPULUH TAHUN, saya percaya bahwa komunisme identik dengan atheisme yang sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya.

Setelah membaca melalui internet dan buku, akhirnya saya mengetahui bahwa komunisme adalah sebuah sistem ekonomi-politik yang berazaskan pada sosialisme. Pemikiran ini adalah buah karya dari Karl Marx, meskipun beliau sendiri belum menyelesaikan bukunya yang berjudul Das Kapital karena maut mendahuluinya sebelum dia menyelesaikan karyanya tersebut. Kemudian buku yang ‘setengah jadi’ tersebut dilanjutkan oleh kawannya, Engels. Buku karya duo maut tersebut menjadi acuan berbagai tokoh di dunia yang ingin menerapkan sistem sosialisme di negaranya masing-masing, namun tentu bukan lagi pemikiran murni dari Karl Marx melainkan modifikasi dari setiap pemimpin yang menerapkannya. Di Uni Sovyet, ada Stalinisme, sedangkan di Tiongkok ada Maoisme. Dua negara itu adalah dua negara terbesar dan terpopuler yang pernah mnerapkan komunisme dengan gaya masing-masing. Di Indonesia sendiri ‘pemikiran kiri’ tidak pernah diterapkan secara menyeluruh, tapi semua orang pasti pernah mendengar ‘Marhaenisme’. Buah karya pemikiran dari Bapak Founding Father kita, Bung Karno. Percaya atau tidak pemikiran Bung Karno tersebut terinspirasi dari pemikiran kiri Karl Marx, hanya saja disesuaikan dengan situasi di Indonesia saat itu.

Ide Bung Karno yang bersumber dari pemikiran kiri melahirkan ide Marhaenisme dan juga ide dari dasar negara ini. Yap, Pancasila adalah dasar pemikiran Soekarno yang terinspirasi dari pemikiran kiri. Pemikiran kiri dianggap menjadi ‘seksi’ kala itu karena kalau kita belajar kembali pada sejarah, pemikiran tersebut menjadi sumber kritik terhadap sistem kapitalisme. Pemikiran tersebut memiliki cita-cita mengembalikan manusia sebagai makhluk sosial seutuhnya. Sebelum terlalu jauh, saya di sini tidak bermaksud mengkampanyekan komunisme. Biar bagaimanapun Pancasila tidak bisa disebut sebagai komunisme. Pemikiran kiri hanya sebagai sumber inspirasi saja. Pernyataan tersebut pun didapat setelah penulis melihat berbagai sumber.

Eksistensi Buku Kiri

Setelah Orde Baru runtuh, dengan ditandai mundurnya Soeharto sebagai Presiden. Era Reformasi muncul sebagai tanda kebebasan ekspresi bagi setiap warga negara. Kebebasan mengkritik pemerintah atau lembaga dengan berbagai ekspresi diperbolehkan. Buku-buku yang pada masa Orde Baru diharamkan, kembali dapat dijumpai di pasaran. Rasa skeptisme terhadap ilmu pengetahuan semakin besar. Buku-buku ilmu sosial yang membedah berbagai pemikiran, baik kiri maupun kanan dapat diperoleh dengan mudah (asal punya uang aja). Untuk saya sendiri, karena dulunya tidak doyan membaca buku, cenderung cuek dengan hal-hal tersebut. Butuh sepuluh tahun agar niat membaca tumbuh dan membuka mata serta pikiran lebar-lebar terhadap beragam pemikiran. Beruntunglah saya tidak terlalu terlambat untuk memahami pemikiran kiri. Dimana selama ini, dari SD hingga SMA saya selalu salah kaprah dengan pemikiran kiri ini.

Namun hal mengejutkan terjadi di awal bulan Mei 2016, tiba-tiba spanduk-spanduk anti komunisme terpampang di jalanan. Saya kira itu wajar, karena negara ini bukanlah negara komunis. Tapi agak aneh juga, karena kesannya negara ini menghindari sesuatu yang sebenarnya sudah tidak ada lagi di Indonesia. Komunisme sudah dibubarkan dan simpatisannya dihabisi pada tragedi 1965. Tapi , ya sudahlah, mungkin itu wujud patriotisme terhadap negara ini. Tapi kemudian hal-hal semakin ganjil terjadi. Berita-berita tentang diskusi mengenai Karl Marx yang dibubarkan paksa menjadi tanda tidak dewasa masyarakat menyikapi hal tersebut. Setelah masalah tersebut selesai, muncul lagi ‘ulah baru’ yang kali ini dimotori oleh Bapak Menteri Pertahanan kita Ryamizard yang ingin menyisir seluruh buku yang ‘berbau kiri’. Buku tersebut hendak disita dan dibakar kemudian. Tidak berhenti sampai di situ, Perpustakaan Nasional yang merupakan gudangnya literasi di Indonesia ikut-ikutan mendukung tindakan Menteri Pertahanan satu ini. Kemudian muncul pertanyaan di benak setiap orang, “Seberapa bahayakah buku kiri ini ?” kemudian, “Berbahayakah orang-orang yang sekedar ingin mencari wawasan ?”

Ironisnya, ‘deklarasi perang’ terhadap buku kiri ini terjadi di era pemerintahan Jokowi, yang pada beberapa tahun belakangan berhembus isu akan meminta maaf pada keluarga korban 1965. Lalu, apakah pemerintah beserta para prajurit tersebut tidak jadi melakukan rekonsiliasi dan meminta maaf pada keluarga korban tragedi 1965 ? Ah, ya udah lah ya, bagian itu di skip aja.

Sejauh pengalaman saya kala menjadi mahasiswa, buku yang katanya berbau kiri ini ternyata memang banyak digunakan. Ya, digunakan sekedar untuk diskusi baik di forum kuliah ataupun di warung kopi. Di luar itu, kehidupan mahasiswa berjalan seperti biasanya, makan di warung, pulang, main game, ngerjain tugas kuliah, tidur dan berharap segera wisuda. Sepanjang pengalaman juga, buku kiri ini memiliki manfaat , setidaknya buku tersebut pernah membantu saya dalam pengerjaan tugas kuliah. Selain itu, orang-orang terutama generasi muda tidak lagi salah kaprah tentang Karl Marx dan pemikirannya. Udah, itu aja, ga pernah ada gerakan komunisme yang muncul. Mahasiswa yang katanya agen perubahan juga ga pernah mimpi buat bikin gerakan kaya gitu. Ngapain coba ? Mending beresin skripsi, biar cepet wisuda dan ga ngerepotin orang tua dengan biaya kuliah.

Rasanya ga lucu juga, kalau dampak dari dimusnahkannya buku kiri ini, generasi anak muda yang lahir sekitar tahun 2000-an, yang sangat mencintai GGS, kemudian mendapat kesempatan kuliah di luar negeri mengambil jurusan ilmu politik atau ilmu sosial lainnya. Kemudian Ketika dia ditanya mengenai komunisme, lalu dia masih menjawab “Bahwa pada dasarnya komunisme sama dengan atheisme.” Yang ada mahasiswa kita hanya menjadi lelucon di negeri tetangga dan tentunya memalukan.

Rasanya ga lucu juga kalau nanti buku kiri jadi barang haram di negara ini. Ga kebayang rasanya nanti ada penjual buku kiri, beraksi layaknya penjual narkoba. Transaksinya di tempat gelap, di warung remang-remang atau mungkin di diskotik.

“Bro ada barang baru ga ?” Tanya sang calon pembeli yang memakai topi dan kacamata agar tidak kelihatan identitas wajahnya.

“Ada, ini ! Isinya tentang dasar pemikiran Karl Marx,” Kata sang penjual dengan berbisik. Kemudian sang penjual tersebut mengeluarkan sebuah buku yang telah disembunyikannya di balik punggung jaket kulitnya. Sang pembeli pun segera mengambil buku itu dan menyembunyikan buku tersebut di balik jaketnya.

“Berapa bro harganya ?”

“Empat ratus ribu bro !”

“Buset ! mahal banget, dulu temen gua aja beli kaya beginian ga nyampe seratus ribu !”

“Iya, dulu mah gampang nyarinya. Sekarang udah jadi barang langka ini, ilegal, dapetinnya susah !” Kata sang penjual dengan tegas. Yap, karena buku kiri dilarang beredar, harganya pun menjadi mahal dan susah dicari.

Gila, mau cari wawasan aja segitunya ya ? Emang susah hidup di negara yang ngelarang cari wawasan.

7 pemikiran pada “BUKU KIRI DAN PENGHILANGAN JEJAK KAKI

  1. Saya sendiri orang yang kurang tertarik sama politik tapi sebenarnya setiap orang walaupun nggak tertarik sama politik seenggaknya mengetahui politik itu sendiri supaya nggak gampang untuk di bego2in, kalo menurut saya sih setiap sistem pemerintahan punya positif negatifnya sih yang penting sesuai aja sama kepribadian bangsa 🙂

    Suka

  2. Ane setuju gan, bolehlah kita musnahkan PKI tapi pengetahuan tentang komunis jangan di musnakan juga karena itu tadi khawatir kejadian kayak yang agan kronologikan tentang belajar ilmu politik di luar negri

    Suka

Tinggalkan Balasan ke Theofilus Richard Batalkan balasan